Solo Leveling Ch. 7: Penalty

Admin | |



Bab 7
Penalti


Depan. Belakang. Kiri. Kanan.

Untuk dapat menjangkau keempat arah mata angin, diperlukan minimal empat orang.

Jin Woo, Joo Hee, Mr. Song dan Mr. Kim.

Jika satu ada seseorang saja yang pergi lagi di antara empat yang tersisa, celah pertahanan mereka akan terbuka.

"Mr. Sung, apa yang terjadi? Tolong jelaskan!"

Mr. Kim bertanya sambil menyeka keringat meluncur turun di dahinya.

“Kita hanya perlu terus menunggu seperti ini! Sampai semua api birunya menghilang!"

Jin Woo mengungkapkan semua yang dia pikirkan. Mr. Kim mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengangguk. Dia akhir penjelasannya, Jin Woo menambahkan,

"Kita semua bisa selamat dari ini."

Sejauh ini, aturan ruangan ini berlaku dengan cara membuka jalan untuk bertahan hidup bagi mereka yang menuruti aturan tersebut. Cara kerja perintah terakhir tersebut seharusnya tidak berbeda. Selama mereka saling percaya, semua orang bisa pergi tanpa terluka. Ini adalah kesimpulan yang Jin Woo dapatkan.

"..."

Pikiran Mr. Kim berbeda. Dia bertanya setelah ragu-ragu sebentar,

"Mr. Sung... kau mungkin benar tentang semua ini, tapi... Apakah tidak ada kemungkinan pintu justru akan menutup begitu waktunya berakhir?"

"..."

Jin Woo tidak bisa menjawabnya.

Meskipun teorinya dikumpulkan dari berbagai uji coba dan bukti yang diamati sejauh ini, tapi dia tidak bisa menjamin 100% bahwa teorinya benar.

Dan Mr. Kim membutuhkan jaminan untuk itu. Baginya, kepastian akan kelangsungan hidupnya sendiri jauh lebih berharga dibandingkan kelangsungan hidup dari seluruh kelompok yang masih tidak pasti.

"Maafkan aku... kurasa aku tidak bisa melakukan ini."

"Mr. Kim!"

"Maafkan aku"

Dan setelah itu, Mr. Kim melangkah keluar dari altar. Mengabaikan suara Jin Woo, dia berlari menuju pintu. Setelah melihat orang-orang yang ditinggalkannya, untuk yang terakhir kalinya, Mr. Kim pergi melalui pintu dan tidak kembali.

Jin Woo mengepalkan tinjunya dan menggertakkan giginya.

"SIALAN!"

Dia telah menyelamatkan hidup mereka. Alih-alih membalas tindakannya dengan kebaikan dan rasa terima kasih, mereka malah mengkhianatinya.

Seperti yang diduga, ada satu tempat kosong di antara mereka, tempat di mana tak ada seorang pun yang menatap patung.

griiiiiind~

sliiiiiide~

Patung-patung itu inchi demi inchi semakin mendekat ke arah kelompok itu.

Setelah melihat ke sekeliling mereka, Mr. Song berbicara dengan Jin Woo dan Ju Hee.

"Kalian harus pergi."

Suaranya penuh martabat.

Jin Woo menoleh dan menatap pria itu.

"Mr. Song?"

"Mr. Kim benar. Siapa yang telah membawa kelian terjebak di sini? Tetap di sini adalah keputuan  dan ganjaran paling tepat bagiku."

"Tapi!"

"Jika ada seseorang yang harus bertahan hidup, itu adalah kalian, anak-anak muda dengan sisa hidup yang masih bertahun-tahun."

Mr. Song tersenyum. Kata-kata itu dimaksudkan untuk menghibur keduanya yang harus meninggalkannya.

"..."

Jin Woo mengangguk pasrah. Hatinya berat, tetapi mereka tidak berada dalam situasi di mana mereka dapat berdebat tentang siapa yang harus tinggal dan siapa yang harus pergi.

"Nona Joo Hee, dapatkah kamu membantu Jin Woo pergi?”

"Baik…"

Namun, Joo Hee yang sedang mendekati kedua pria itu tiba-tiba terjatuh ke tanah.

"Ah…!"

Sambil berjuang untuk bangun, air mata menggenangi pelupuk matanya.

"Aku... aku tidak bisa menggerakkan kakiku!"

Ekspresi wajah Jin Woo dan Mr. Song menjadi gelap. Joo Hee tidak sedang dalam kondisi yang baik. Bibirnya membiru dan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Itu adalah efek samping  yang timbul dari terlalu banyak menggunakan mana, hingga hampir habis. Kehabisan mana akan berimbas dan memperburuk tubuhnya.

'Ini semua gara-gara dia mencoba menyembuhkan kakiku..."

Jin Woo berjuang untuk berbicara ketika rasa bersalah itu membebani hatinya. Tapi ini bukan saatnya untuk membuang waku seperti ini. 

griiiiiind~

sliiiiiide~

Patung-patung itu terus bergerak ke tengah ruangan.

Tanpa berkata apapun, Jin Woo menarik dirinya dari lengan Mr. Song dan jatuh ke lantai altar.

Mata Mr. Song melebar,

"Kau…"

Jin Woo berbicara kepadanya dengan tatapan penuh tekad,

"Mr. Song, tolong bawa Joo Hee dan keluar dari sini."

"Sudah kubilang, aku yang akan tetap tinggal di sini."

"Lalu siapa yang akan membawa Joo Hee?"

Jin Woo tidak bisa berjalan sendiri. Mustahil baginya untuk membawa Joo Hee, yang juga lumpuh, hingga berhasil keluar dari pintu.

'Tentu saja…'

Ada pilihan untuk meninggalkan Joo Hee di dalam.

Namun, Joo Hee adalah orang yang telah menyelamatkan hidupnya berkali-kali. Dan bahkan keadaan buruk yang dialaminya saat ini adalah karena menghabiskan semua mana-nya demi menyembuhkannya. Dia benci membayangkan dirinya menjalani sisa hidupnya dengan ihantui rasa bersalah karena meninggalkan orang yang telah berjasa padanya seperti itu.

“Tidak ada waktu lagi. Tolong cepat pergi."

"..."

Dengan berat hati, Mr. Song akhirnya menuruti Jin Woo dan segera mengangkat Joo Hee. Joo Hee menangis dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak... Tidak bisa... Jin Woo, kau saja yang pergi. Aku yang akan tinggal..."

"Aku berjanji akan menraktirmu makan malam, kan?"

Dari sakunya, Jin Woo mengeluarkan kristal sihir kelas E yang didapatkannya dari pertarungan di Dungeon sebelumnya, dan meletakkannya di tangan Joo Hee.

"Kau pergi duluan dan belilah makanan dengan ini. Aku akan datang untuk mengambil sisanya nanti," kata Jin Woo, diakhiri senyuman.

Joo Hee tersentak melihat senyumnya.

"Bagaimana mungkin kau bercanda di saat seperti ini!"

Jin Woo mengangguk ke arah Mr. Song, yang tetiba memukul bagian belakang leher Joo Hee dan seketika membuatnya pingsan. Dengan cekatan, Mr. Song menggendongnya di bahu kanannya dengan tangannya yang masih utuh.

"...Maafkan aku."

"Ya, lagipula ini keputusanku."

Mr. Song menundukkan kepalanya ke arah Jin Woo dan pergi dari altar bersama Joo Hee di bahunya. 

Patung-patung itu dengan cepat mendekati altar.

Jin Woo yang terduduk menarik napas dalam-dalam.

Ketika menoleh, dia menemukan pedang yang ditinggalkan Mr. Kim. Sontak dia mengulurkan tangan untuk segera mengambilnya.

‘Sekarang sudah seperti ini, aku akan menghabisi setidaknya satu dari kalian dan membawamu mati bersamaku.'

Kepalanya menoleh lagi . Kali ini ke arah pintu. Dia melihat Mr. Song dan Joo Hee berhasil melewati pintu yang terbuka dengan selamat.

'Terima kasih Tuhan... Akhirnya, hanya aku, satu-satunya yang akan mati di sini."

Ini bukan tentang sebuah perasaan sentimental dari suatu pengorbanan diri yang mulia, melainkan tentang sebuah perhitungan sederhana. Bahkan, jika dia berhasil keluar pun, dia harus menjalani sisa hidupnya sebagai orang cacat. Jangankan menjadi Hunter, untuk menjalani kehidupan sebagai manusia normal pun akan sangat sulit baginya. Tanpa memiliki bakat khusus atau keterampilan tertentu, ia tidak mampu membayangkan kehidupan bahagia di masa depannya.

'Lalu ada tagihan biaya rumah sakit ibu... dan biaya pendidikan Jin Ah...'

Jin Woo berpikir, jika dia tidak mungkin dia bisa membiayai beban hidup mereka akibat mendapatkan cidera ini, setidaknya dia bisa membantu mereka dengan kematiannya.

'Coba kuingat-ingat, uang kompensasi yang akan diterima dari kematian selama Raid adalah... Tiga ratus juta won, diberikan bagi keluarganya yang selamat? Atau malah empat ratus juta?"

Dibandingkan dengan nyawa seorang hunter kelas E yang tidak berharga, kompensasi  ini terhitung sangat banyak sekali.

griiiiiind~

sliiiiiide~

*Berhenti*

Mereka sudah sampai di sini.

Patung pertama yang tiba mengambil langkah ke arah altar.

Jin Woo melihat ke arahnya dan mengangkat pedangnya.

"Ke marilah!"

Namun, serangan pertama untuknya ternyata datang dari belakang.

*Jlebb!*

Tombak yang menusuk punggungnya sekarang menembus hingga keluar dari dadanya.

"Uhuk... uhukk"

Jin Woo memuntahkan banyak darah. Rasa sakit menyerang setiap indranya seperti hujan es.

"Jika kau tertusuk lebih tinggi dari ini sedikit saja, maka tusukan itu akan tepat mengenai jantungmu!"

Kata-kata Joo Hee di Dungeon sebelumnya melintas di benaknya.

"Wu-wuaaaaak!"

Patung itu mengangkat tombaknya bersamaan dengan Jin Woo yang tertancap dan melorot dari ujung mata tombak tersebut. Jin Woo mendapati dirinya tergantung di udara. Saat dia menggoyangkan kakinya dengan kesakitan, patung itu membantingnya ke tanah dengan keras.

Bang!

Krak krak kreasrk~

Dia mendengar suara tulang di seluruh tubuhnya yang dia yakin pasti sudah hancur leburTak ada satu pun titik di badannya yang tidak sakit.

Satu per satu, patung-patung itu pun berkumpul di sekitar Jin Woo yang sudah mulai mengalami kejang, sambil memelototi mereka.

'Aku tidak... aku tidak ingin mati seperti ini...'

Saat kematian mendekatinya semakin dekat, semakin dekat, air matanya mulai mengalir jatuh.

Bayangan keluarganya muncul di benaknya. Wajah sedih Joo Hee, yang mengkhawatirkannya hingga menit terakhir perpisahan mereka juga muncul dalam pikirannya.

'Aku tidak ingin mati...'

Dia belum ingin mengakhiri hidupnya di usia 24 tahun.

Duk. Duk~

Sebuah patung yang memegang pedang berjalan ke arahnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Bahkan ketika seluruh tubuhnya bergetar, Jin Woo tidak memalingkan pandangannya ke arah patung tersebut.

Akhirnya, pedang yang diangkat patung itu dijatuhkan ke arahnya.

'Satu lagi, hanya satu lagi. Jika aku punya cukup satu kesempatan lagi!"

Mata Jin Woo melebar menatap pedang yang jatuh menikam ke arahnya.

Dan pada saat itu.

tik-tok-tik-tok-tik-tok-tik-tok-tik-tok-tik-tok...

Jin Woo merasa seolah-olah ada seseorang yang telah menekan tombol jeda pada video, pedang yang jatuh berhenti tepat di depan matanya.

Tidak, tidak berhenti.

Pedang itu hanya melambat, dan seolah-olah dihentikan.

Milimeter demi milimeter, pedang itu pasti masih bergerak menghampirinya.

'A-apa?'

Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Kemudian, suara seorang wanita yang belum pernah dia dengar sebelumnya dalam hidupnya terdengar di kepalanya.
[Anda telah memenuhi semua persyaratan dalam Quest Rahasia: Keberanian Seorang Yang Lemah]

Quest rahasia? Sudah memenuhi semua kondisi?

Dia tidak tahu apa yang dikatakan suara itu.

'Tidak, tunggu dulu. Dari mana suara itu berasal?'

Mengabaikan pikirannya, suara itu pun berlanjut.

[Anda telah memperoleh hak untuk menjadi Player. Apakah Anda akan menerimanya?]

Memperoleh hak? Menerima?

'Kedengarannya, dia ingin memberiku sesuatu...'

Tumbuh besar dalam kondisi serba kekurangan, dia tahu bahwa tidak ada yang hal yang  gratis dalam kehidupan di dunia ini.

‘Tapi kukira hal itu hanya berlaku ketika hidup. Apakah hal-hal semacam itu juga ada dalam sebuah kematian?'

"..."

Saat dia menunggu dengan penuh keraguan, suara di kepalanya bertanya lagi.

[Sisa waktu yang Anda tidak banyak. Jika Anda menolak kesempatan tersebut, jantung Anda akan berhenti dalam 0,02 detik. Apakah Anda akan menerimanya?]

Entah ini hanya sebuah halusinasi atau bukan, satu hal yang pasti adalah kematiannya sudah sangat dekat.

Di atasnya, pedang perlahan turun menuju kepalanya, begitu pula senjata-senjatu dari para patung lain yang kesemuanya mengarah kepadanya.

Pada sepersekian detik itu, tetiba Jin Woo memutuskan untuk berhenti berpasrah.

'... Tentu saja mengapa tidak?'

Dia tidak mengucapkan kata-kata itu dengan keras, tapi hanya memikirkannya di kepalanya.

Namun, suara perempuan itu menjawab pikirannya.

[Selamat datang menjadi Player]

Flash!

Cahaya yang menyilaukan mengelilingi tubuhnyadan Jin Woo kehilangan kesadarannya.


--Hukuman--

Dia membuka matanya.

Dia melihat langit-langit yang bernuansa putih cerah. Bau desinfektan yang menyengat menyeruak. Dan dia dapat ranjang yang keras yang memijit tak nyaman di balik punggungnya.

Jin Woo segera menyadari tempat dia berada sesaat dia membuka matanya.

'Rumah Sakit?'

Meskipun dia sudah semakin jarang masuk rumah sakit setelah bertemu dengan si hunter tipe Healer kelas B, Joo Hee, tapi rumah sakit masih merupakan tempat yang bisa Jin Woo panggil sebagai rumah kedua dalam karirnya sebagai hunter. Bahkan, ada desas-desus tentang adanya kamar khusus untuk dirinya di rumah sakit ini.

Jin Woo mulai bangkit dan menegakkan posisi duduknya. Dia mengangkat tangannya ke dadanya dan dia dapat merasakan detak jantungnya yang teratur.

'Aku hidup?'

Bukan hanya hidup, melainkan seluruh tubuhnya terasa lebih ringan dari biasanya.

Dibandingkan dengan rasa sakit dan berat yang biasa dia rasakan setiap dia membuka matanya di sini, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah dia bangun setelah istirahat lama dan sangat baik di rumahnya sendiri.

'...Apa?'

Ketika dia mengingat-ingat, adegan terakhir sebelum dia pingsan adalah sebuah kejadian yang tidak terbayangkan.

Pedang yang menjatuhinya. Patung-patung yang mengelilinginya.

Bahkan jika entah bagaimana dia berhasil menghindari pedang, biasanya hanya sebuah kelompok yang terdiri dari para hunter kelas A, tidak, bahkan Hunter kelas S, yang dapat  melakukannya dan mengalahkan musuh-musuh kuat macam di ruangan itu.

'Dan aku seorang diri, keluar dari sana hidup-hidup?'

Apakah itu hanya mimpi?

Untungnya, ada sebuah cara mudah untuk mengetahuinya. Jin Woo melihat ke bawah selimut yang menutupi dirinya. Jika ini semua nyata, dia tidak akan melihat satu kakinya di sana.

Kemudian, sebuah suara yang dalam menghentikan gerakannya,

"Kau sudah sadar?"



(bersambung ke Bab 8)



Related Post

0 Comments for "Solo Leveling Ch. 7: Penalty"