Bunga untuk Ngengat
Pengarang : Anifatun Mu'asyaroh (Ani Amarilis)
Genre : Cerpen, Fiksi, Romance
Waktu Rilis : 2014
Waktu Rilis : 2014
Terima kasih untuk cintamu yang tak pernah berhenti meski dunia berhenti
berputar esok hari. Terima kasih untuk judul yang tetap kau paksa beri meski
kita sama-sama tahu bahwa cerita kita bisa jadi tidak saling berkorelasi.
Berapa lama kita berkutat dalam lubang
sandiwara ini? Kau berlagak tolol, seolah-olah aku masih asing dalam mengenali
maksud dan menghitung angka. Kebodohan kita ini, aku senang
memeliharanya. Entah mengapa, ini dapat menawanmu tanpa syarat, membuatmu menyebelahiku
meski tiba saatnya para kupu-kupu bertukar jadwal dengan ngengat-ngengat. Ah, tentang
dua makhluk bersepupu
ini, kita pernah
terlibat masalah berkaitan dengan mereka. Masalahmu tepatnya, kesalahan di masa
mudamu. Kau yang terusik dan mengusikku, memaksaku terlibat ke dalam pusaran
gemerisik kedengkian dalam diam bak perang dingin yang disetujui hanya oleh
satu pihak.
*****
Aku tak pernah ingat kapan tepatnya semua ini
dimulai. Namun, ingatan pertamaku tentangmu adalah kau si “bocah laki-laki yang
berair muka cemberut sepanjang hari”. Ramai orang-orang kampung membicarakanmu,
menyebut dan menyamakanmu dengan seekor ngengat yang bersembunyi di balik
ketiak malam, sebab kau
gagal terbang secantik kupu-kupu, seperti Mbak Yu,
kakak perempuanmu yang tak pernah tampak luputnya di mata orang awam
sepertiku..
Kau menggelung badan di balik meja, di dalam ruang
kerjamu, melakukan pekerjaan yang tak diketahui oleh satu orangpun, hingga
waktu membuat orang-orang di balik ruanganmu jemu untuk mencuri tahu. Satu dua
tahun, waktu yang pendek menurutmu, untuk mengubur diri dalam hingar bingar
pesta solomu, dengan tanpa berjumpa dengan manusia.
Lalu suatu pagi, Mbak Yu betul-betul berubah
menjadi kupu-kupu, tanpa kau ingat kapan
ia membungkus diri dan bermeditasi. Kau abai, tak rela melemparkan sekejap saja
perhatian ke luar kamar kerjamu. Kau tetap berpesta, berdansa jari hingga peluh
membaui diri. Dan saat itu pula aku tersadar bahwa ternyata kau sudah lama mati
suri sambil mendelik di balik dinding kamar itu. Mbak Yu adalah idola
sekaligus pembunuhmu, matamu jujur berkata mengkhianati lidah mahalmu.
Sejak Mbak Yu pergi dan
berakhir menjadi bintang kejora yang tak jua kembali, kematian
surimu
entah
bagaimana dalam sekejap tercabut. Kau terjaga, membuka lebar pintu
pengasinganmu, membungkam mulut orang-orang yang menusukmu dari luar kamar.
Betul dugaanku, bagimu Mbak Yu bagaikan pemantik yang justru menyulut dan membakarmu
hingga hidup ketika nyalanya sendiri mulai
padam di mata orang lain. Kau mengerikan sekaligus mengagumkan jika
aku tak boleh berdusta. Aku mafhum. Ditawan gelap dan
terkungkung di bawah tuduhan tak bertanggung jawab selama berwindu-windu, siapa manusia
yang tak ingin memberontak karenanya?
Ah... Siapa pula yang tahu jika seekor ngengat
sepertimu dapat membuat bunga malam sepertiku tetap mampu bertahan hidup --dalam
ketatnya persaingan bunga-bunga malam menawan yang lain-- hanya dengan
mengamatimu dari jauh?
*****
Kita akhirnya bertemu, setelah ribuan hari lamanya,
diam-diam kukirimkan serbuk-serbuk terlarang yang sayangnya tak
pernah sampai ke satupun panca inderamu. Kau datang, bahkan ketika aku belum
selesai mengantar pergi para tamu kurang ajarku --yang kali ini
berhasil membuatku terpaksa merelakan satu set sofa berlengan kumal yang
kupunya melayang pergi bersama mereka. Sungguh, ini adalah
tipe perjumpaan
yang tidak pernah kuinginkan sebab selama ini aku
berharap
aku tengah mekar merekah ketika aku berkesempatan bertemu denganmu.
Kita tak banyak bicara. Kau diam
berdiri selama bermenit-menit, tapi matamu berkobar bagai hendak melahap
habis setiap mata yang mengajakmu bertatap. Dalam sekejap aku tahu, ini pasti
soal Mbak Yu. Ketika aku bosan dan memutuskan
untuk mendekatimu, sontak
kau melarangku, lantas
menyodorkan secarik kertas yang di atasnya tertera banyak sekali angka nol. Aku
tak pandai menghitungnya.
"Ternyata kau
super
kaya,
hah?"
pertanyaan itu meluncur tanpa permisi dari mulut bergetarku.
"Belum terlalu, tapi akan.
Kekayaanku sendiri dapat dipastikan, hanya jika kau bersedia
angkat kaki dari kios murahan ini dan bekerja untukku," katamu lancar,
tidak pusing memilih kata.
"Menjadi simpananmu?" aku tahu kau
tak punya istri. Namun, di luar dugaan menjailimu ternyata merupakan hal yang menyenangkan
bagiku.
"Lebih dari itu, jika itu maumu,"
lugas dan tidak main-main. Aku terperangah. Dahiku berkeringat kecil. Kejadian
cepat ini tidak sesuai dugaan.
"Syarat?" timpalku, tetap berusaha
angkuh. Aku tahu kau mulai mampu membaca rasa ketidaknyamananku dalam dialog
empat mata yang menurutku terlalu intimidatif ini. Menyesal, aku
merindukan sofaku kembali ke dalam ruangan yang kini ompong tanpa
kursi duduk ini.
"Kau sudah tahu. Jangan berpura-pura!"
jawabmu tegas, sarat perintah.
Aku merinding
seketika. Aku merasa baru saja patah hati. Dan terlebih lagi, kau yang selama
ini kukira menyedihkan, ternyata jauh lebih menyedihkan setelah sekarang
berhasil kujumpai. Kau tak berbeda dengan tamu-tamu kurang
ajarku yang lain. Memeras dan merampas tanpa berbelas. Aku
menyesal. Aku seperti baru mempermalukan diri sendiri, mejamumu untuk
merendahkan harga diriku.
"Apa yang kau mau?" tanyaku dengan
suara bergetar. Sesekali perih terasa akibat aksi menggigit bibir bawah yang
dilakukan olehku sendiri. Aku sama sekali tidak mampu menebak
bagaimana akhir dari percakapan membingungkan ini.
"Baiklah akan kuperjelas. Aku ingin kau
menjadi milikku, sudah pasti. Tak kukira, ternyata kau sebodoh ini. Apa kau tak
pernah melakukannya sebelumnya?" tanyamu semakin tidak sopan.
"Dengarkan aku, wahai kau lelaki sombong
dan menyediahkan: aku tak menjual diriku semurah itu untuk menjadi simpanan
hidung belang sepertimu!" akhirnya aku tak tahan untuk muntab.
"Kau tak bisa menghitung angka yang
tertera di cek itu? Seratus juta bukanlah harga yang murah. Dan kau berharap
aku menjadikanmu sebagai istriku atau apa?" tanyamu tanpa berpikir
panjang.
Kaget. Aku terdiam bermenit-menit. Mendelik dengan
ekspresi wajah yang aku yakin sangat mirip dengan wajah seekor gagak yang gagal
memperoleh bangkai incarannya. Kecewa dan marah. Aku tak mampu membalas setiap
permintaan tidak manusiawi yang kau tawarkan atau sedikit kau paksakan
kepadaku. Pun aku sedikit malu-malu karena kau menyebutkan kalimat
“menjadikanku sebagai istri” seringan mengucapkan kalimat “aku lapar”.
"Bukan ide yang buruk,” katamu
tiba-tiba memecahkan ketegangan. “Akan kupertimbangkan. Mungkin kau bisa
menjadi istriku. Namun, saat ini aku hanya ingin membeli tanganmu,"
akhirnya kau bicara sendirian tanpa peduli perubahan cepat di wajahku dari
marah, malu-malu, hingga kembali menjadi kaget lagi setiap mendengar kata-kata
yang kau ucapkan.
Hingga akhirnya aku menyadari ekor dari tujuan
kedatanganmu dan deretan ucapan kaku dan dinginmu. Aku berdiri seketika, nyaris
mendorong jatuh kursi plastik tempatku mendudukkan badan. "Kau ingin menyimpan tanganku? Kau
psikopat! Tak mungkin aku menjual tangan-tangan berharga pencetak uangku kepada
lelaki psikopat sepertimu!" sebutir air mata mengalir tanpa kendali di
pipi kiri. Aku sangat marah kepada lelaki di hadapanku
yang justru tengah berwajah datar, tanpa peduli lawan bicaranya tengah
mati-matian menahan emosi.
"Justru karena tanganmu sangat berharga,
aku ingin kau menggunakannya untuk menghasilkan karya-karya terbaik dan bernilai
jual tinggi.
Jadilah pelukis untuk cerita-ceritaku!"
Seekor burung gereja melewat hadir di antara
kita, tidak berniat terbang, tidak sudi berjalan. Burung tak pernah berjalan.
Namun, aku ingat kau berjalan mendekatiku tanpa ragu, bahkan ketika aku telah
menciderai telingamu dengan tuduhan-tuduhan kasarku. Kembali aku mempermalukan
diriku sendiri dengan keangkuhan dan kebodohanku.
"Kau! Dasar kau orang kaya yang sama
sekali tak menghargai uang!" cercaku, tak menjawab permintaanmu.
"Dan kau wanita miskin, yang Demi Tuhan,
sangat berbakat, tapi tak pintar mencari uang!" timpalmu sembari
membalikkan badan. Kupikir kau sudah lelah berbicara denganku.
Lalu aku teringat akan Mbak Yu. Dalam sekejap,
aku sedikit mengerti alasanmu mendatangiku. Kau akan memulai melancarkan perang
dinginmu dengan cara ini?
"Dari mana kau tahu keahlianku?"
tanyaku penasaran.
"Dari kertas-kertas bungkus kacang rebus
yang kau dan adikmu jual di kios kumal ini," jawabmu sambil
melirik ke arah gerobak kacang rebus di hadapanku.
Aku merasa aneh sekaligus kegirangan. Aku tak
pernah tahu kau memperhatikan gambaran tanganku di lembaran
kertas buku sekolah
lamaku
yang telah disulap menjadi kantong pembungkus kacang rebus jualan kami.
Dan aku bahkan tidak pernah tahu kau pernah membeli kacang-kacangku. Aku sama
sekali tidak ingat kau pernah keluar dari kamar kerjamu.
"Kau! Kau... Ngengat aneh!"
komentarku spontan, tak mampu menemukan diksi yang lebih tepat untuk
menggambarkan kegiranganku.
"Dan kau lebih aneh, wanita tukang
intip!" balasmu tanpa melihatku. Sontak, wajahku memerah tomat. Kau tahu
dan pura-pura tidak tahu. Aku mengamatimu seperti penguntit genit saban hari.
Dan kau menikmatinya?
"HAH??!! Mesum...!"
"...adalah kata yang cocok untuk seorang
tukang intip sepertimu," potongnya cepat, membungkam tuduhanku yang
kesekian untukmu.
"Aku menolak menjual tanganku kalau
begitu," tegas tanpa keraguan. Aku kecewa telah dibohongi.
"Akan kuturuti semua permintaanmu jika
kau memenuhi permohonanku," tawarmu cepat. "Apapun, hingga
kapanpun," tambahmu.
"Ini, berkaitan dengan Mbak Yu?" tak
mampu lagi kutahan rasa penasaranku untuk membuktikan semua hipotesis yang
sudah bertahun-tahun menari liar di dalam otakku.
Kau diam, raut wajahmu berubah memerah
seketika. Sedangkan aku? Aku menyesal telah bertanya dan siap menerima segala
risiko yang telah kupicu dengan mempertanyakan hal paling tidak ingin
didengarkannya.
Tiba-tiba kau berjalan mendekatiku dengan
wajah merahnya yang semakin merah setiap detiknya dan kau berkata, "Tebakan
tepat dari seorang tukang intip yang berbakat!" kau berkelakar, tapi
matamu tak mampu membohongi juru pengamat sepertiku. Sayu, tapi tak sabar ingin
membunuh dan membuktikan sesuatu.
Kurang dari satu detik kemudian, tangan dan
lidahku bergerak tanpa kusuruh, “Ini tanganku yang akan menghidupkan cerita-ceritamu,”
sembari menyodorkan tangan kananku mantap yang dalam sekejap
sudah tersambut oleh tangan kananmu dengan lebih mantap. Ke mana perginya
rasa malu dan ketidakpercayaan diriku yang sebelumnya?
*****
Kini, puluhan tahun berlalu setelah itu. Aku
masih tak percaya kau mengabulkan lebih dari apa yang aku minta. Kau
mempertaruhkan diri, bertolak dan menanggalkan segala bencimu kepada Mbak Yu.
Tiga windu kau mencemburui Mbak Yu, tiga puluh menit kau melamarku menjadi juru
lukismu, lalu tiga tahun kemudian kau menurunkan segala bendera perang yang kau
tujukan kepada Mbak Yu.
Kau berterima kasih kepadaku, saban waktu.
Menghadiahiku dengan rayuan dan pujian yang memabukkan, yang jika ada orang
lain yang mendengarnya, berani kujamin mereka akan mabuk keracunan. Kau
menyebutku pahlawan: sudi menjadi pelarian, tak sungkan meninjumu ketika kalap
oleh kebencian. Kau menamaiku bunga termahal: memintamu mempersuntingku sebagai
bayaran untuk mewujudkan mimpimu.
Kau tahu, kau betul-betul adalah seekor
ngengat seperti yang orang-orang tuduhkan, Ngengatku. Namun, kau tak pernah
betul-betul tahu bahwa justru ngengat sepertimulah yang membuatku mekar saat
kau memutuskan untuk menjadikan bunga malam sepertiku menjadi teman sepanjang
hidupmu. Kau adalah alasanku untuk mulai berterima kasih kepada Tuhan. Ketika berbagai
rupa kegelapan malam yang kutemui tak mampu membangunkanku untuk menyapa Tuhan.
Hei, Ngengatku, tentang waktu yang tak mau kau
ingat, aku akan menghabiskannya dengan bijak. Tentang terima kasih yang kau
ucap setiap hari tanpa terlewat, aku akan mengubahnya menjadi bekal untuk
menemaniku menuju-Nya. Tentang sandiwara dan segala kebodohan kita yang
berakhir dengan cinta, aku akan menyimpannya hingga kita kembali
dipertemukan-Nya di alam kekal-Nya.
*****
Seorang lelaki
bersurai hitam yang mulai mengabu memandang pusara baru di hadapannya. Tanah
merahnya masih basah. Kembang-kembang pemakaman berwarna-warni tertabur mewangi
di atasnya. Wajahnya sayu, meski tak ada satu pun bulir tangis meluncur dari
sudut-sudut mata tajamnya. Mata yang
sedari siang menatap lekat ke arah lukisan dari pensil yang menampilkan potret
seorang wanita berambut panjang dan berlesung pipit hanya di pipi kanan. Wanita
itu adalah penghuni pusara yang ada di hadapannya. Wanita yang dalam sehari
dapat mengucapkan terima kasih sebanyak ratusan kali selama hidupnya. Wanita
yang mengirimkan surat tulisan tangan yang tengah terkulai lemas di genggaman
tangan kanan lelaki itu.
“Damailah, Bunga
Malamku. Aku akan selalu menjadi ngengat yang memekarkanmu.”
0 Comments for "Bunga untuk Ngengat"