Amaryllis

Admin | |
Amaryllis:
Ketika Simfoni Mempertemukan Hati





Pengarang   : Anifatun Mu'asyaroh (Ani Amarilis)
Genre           : Cerpen, Fiksi, Romance, Music
Waktu Rilis  : 2012



Hingga aku melamunkan sebuah bintang tak kukenal pun, aku masih saja teringat kau. Bukan! Ini bukan tentang cinta karena kita berjumpa bukan saat berkencan mesra. Terakhir kali kulihat, kau menghembuskan napasmu ke lensa kacamata kuda milikmu. Dan kau tahu? Aku muak di setiap detik aku mengingatumu. Kenapa? Sebab berkat apa yang telah kau lakukan sebelumnya, aku tak mampu lagi bermain piano.

"Dira? Kau di kamar, nak?"

Itu suara ibu. Ibuku yang wajahnya selalu terhdiasi senyuman meski aku tak pernah produktif memberinya hal yang membanggakan. Wajah yang sudah sejak lama sekali tak berani kutatap lama-lama karena hal itu dapat membuatku menangis sehardian. Aku tak boleh menangis sebab jika dia melihatku menangis, maka dia akan menangis lebih lama dan itu sama saja membunuhku pelan-pelan. 

"Dira... Nadira anak ibu yang cantik. Bubur kacangnya sudah sdiap. Bagaimana kalau kita makan bersama di balkon kamarmu? Sepertinya pemandangan sore ini terlihat sangat asyik."

Dia membuka gorden kamarku lalu menggeser pintu kaca. Samar-samar, mentari senja menebarkan sinar jingganya, menyilaukan karena mataku belum sdiap untuk berinteraksi dengannya. Ibu sudah hampir menuntunku ke luar balkon saat tiba-tiba sosok Nyonya Lily terlihat sedang melewati jalan blok, di mana dari sana balkon rumahku dapat terlihat dengan sangat jelas.

"Ibu! Aku tidak bilang aku ingin makan di sana. Kalau ibu sangat menginginkannya, kenapa bukan ibu sendiri saja? Lagipula aku sangat benci dengan balkon itu. Mereka selalu saja menoleh ke sini setiap melewati jalan samping rumah," ucapku sedikit keras hingga membuat bergetar gelas yang ibu parkir di atas piano putih di kamarku. 

"Baiklah, nak, kalau maumu begitu. Kita makan di sini saja, ya?" kata ibu lembut dan diakhiri dengan senyuman indah menenangakan yang tak pernah bisa kutirukan hingga aku sebesar ini. Aku malu. Wajahku memanas akibat memuntahkan amarah untuk hal yang mungkin menurut orang-orang sangat sepele. Sepele, hah? Ini adalah hal memalukan bagiku!

Aku tak suka mereka memandangku dengan aneh. Aku tak suka mereka membicarakan keadaanku dan membandingkanku dengan aku yang dulu. Aku benci orang-orang yang selalu saja melihat kasihan padaku, tapi sedetik kemudian membicarakan hal-hal bodoh dan dikarang bebas tentangku. Dasar sakit jiwa! Bahkan Cinderella pun hanya disiksa oleh tiga orang!

"Dira? Makan dulu, nak? Ibu suapin, ya. Aaa..." Mulutku tak bergeming. "Kenapa, Dira?"

Aku diam. Aku tak tahu mengapa egoku sebesar Gunung Fuji.

"Dira? Kamu marah pada ibu?" tanya ibu. Aku tak berani memandanganya karena aku tahu sekarang matanya sedang berkaca-kaca. Ibu, tolong beri aku waktu.

"Dira?"

"Tinggalkan aku, Ibu! Aku bisa makan sendiri! Aku bukan bayi! Dan aku masih punya kaki!" terdiakku. Kali ini aku dapat melihat dari sudut mata kananku, air dalam gelas itu bergoyang hebat. Sama halnya dengan ibu yang tangan dan bibirnya gemetar, meskipun dia sembunyikan dengan senyuman dan remasan tangan. 'Ibu maafkan aku, aku tak pernah bermaksud untuk membentakmu. Namun, tolong percayalah bahwa aku bukan orang cacat yang menyedihkan. Aku bisa seperti yang lain!'

"Baiklah, sayang. Ibu ke dapur dulu, ya?" 

Kau percaya? Hei kau kacamata kuda? Dia, Ibuku, bahkan tersenyum saat aku sudah membentak dan bicara kasar padanya. Ini semua gara-gara kau. Kalau kau tak mematahkan jari-jariku, mungkin ibuku tak akan menderita setiap hari seperti ini olehku dan tetangga-tetangga menyebalkan yang... Aaargh! Tunggu pembalasanku, kau bocah tengik si…

Piano itu. Dia tiba-tiba mencuri perhatdianku. Dia tampak kasihan dan tak lagi tampak putih karena terselimuti oleh debu. Kau memang telah mematahkan jariku, tapi kau tidak bisa mematahkan ambisiku untuk "menang" darimu karena aku memanglah satu-satunya yang terbaik di sekolah. Aku tak akan mati jika aku bermain piano dengan jari kaki. Akan kubuktikan itu padamu, Tuan Muda Hide yang memuakkan!

*****
Sdial! Aku sudah berusaha untuk menekan lebih keras di tuts ini. Namun, sepertinya kelingking kiriku masih terlalu lemah. Jika seperti ini terus aku tidak akan bisa memainkan tempo. Jari kakiku masih belum terbdiasa. Dulu aku dapat memainkan lagu-lagu ciptaan Chopin dalam sekejap. Sekarang? Ah! Hide! Kau benar-benar harus membayarnya!

Pergerakan jemariku masih sangat kaku. Jika seperti ini terus, aku hanya akan mampu memainkan lagu Twinkle Little Star. Oke, Dira! Kau pasti bisa! Selagi ibu pergi, manfaatkan waktu untuk berlatih. Mungkin aku harus benar-benar memulai dari pemanasan lagi. Jari-jari dan pundakku mulai pegal. Wah! Tak kusangka tangan doraemon ini berguna juga untuk memijit bahu? Tuhan, Kau memang selalu menawan dengan segala kejutan indah-Mu. 

Tok...tok...tok. 

Suara pintu? Ibu? Gawat kalau dia tahu aku sedang apa. Di mana? Di mana novel milik bocah sdialan itu? Mengapa kamar ini jadi begitu berantakkan? Payah ini! Ibu masih belum boleh tahu sekarang. Nah ketemu! Hei, 5cm! Bantu aku mengelabui ibuku. Baca, baca, baca!

"Dira? Kau di dalam? Ibu masuk, oke?"

*****
"Kontes piano? Hah! Ibu ingin mereka menertawakanku? Lagipula aku sudah lupa cara bermain piano!" Demi Monas dan Tugu Muda! Aku kaget sekali dengan ajakan ibu untuk mengikuti kontes piano. Bagadiamana ibu tahu kalau aku mulai berlatih piano lagi? 

"Dira..."

Tidak! Benarkah ibu menangis? Tuhan, tolong hukum aku. Apakah aku sudah sangat menyakiti hatinya? Maafkan aku Tuhan, aku tak bermaksud me...

"Dira. Ibu tidak pernah tahu kalau kau masih sangat menyukai piano. Maafkan ibu untuk ketidakpekaan ibu. Hingga kemarin ibu tak sengaja mendengarkan permainan pianomu, sangat cantik. Ibu selalu di belakangmu, nak, mendukungmu. Tak usah lah kamu pedulikan kata tetangga, paman, bibi dan kakek. Kejarlah mimpimu, nak!" kata ibu masih sambil menangis sesenggukan.

Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Dia pasti sedih kalau tahu tujuanku bermain piano lagi adalah untuk mengalahkan Hide.

*****
Bagus! Permainanku sudah lebih baik! Aku harus menentukan lagu yang tepat dengan kondisiku saat ini. Lagu apa yang tepat untukku dan tidak akan bisa dimainkan oleh Hide? Hide itu... Dia tidak pernah mau memainkan lagu bertempo lambat bukan? Shymphoni 7 milik Beethoven? Tidak! Tidak! Dia pasti memilih lagu Chopin favoritku! Demi bunga sakura aku belum pernah sebingung ini dalam memilih lagu.

Senja ini cukup cantik kukira. Sampai-sampai aku menelan ludah ketika baru membuka gorden kamar dan tiba-tiba mentari yang nyaris lenyap ditelan horizon laut. Sangat indah. Ingin sekali aku menangkapnya dengan kamera tua dari ayah. Namun, kuurungkan karena pasti tidaklah mudah mengambil gambar dengan baik menggunakan tangan doraemon ini. Sekilas aku tersenyum menatap lengan bawahku yang polos.

Halo, Tuhan! Aku mulai terbdiasa dengan tangan doraemon dan jari kaki menariku. Bdiarkan mereka bermain harmonis hingga tiba hari kontes nanti, Tuhan. Hei, kau bunga amarilis. Kau cerah sekali hari ini. Apakah kau ingin membalas dendam kepada bunga lili di sampingmu karena dia mekar lebih dulu darimu tapi sekarang sudah mulai keriput? Ahaha... Katu terlalu cantik untuk mambalas dendam, amarilis sayang. 

Amarilis? Amaryllis? Kenapa tak pernah terpikirkan sebelumnya??? Bingo!!! Amaryllis! Hide sangat membenci lagu itu! 

*****
"Ibu yakin, ibu mendaftarkanku di kontes yang sama dengan Hide?" Ibu mengangguk. Pasti. Ibu tidak pernah berbohong.

Langit ini begitu cerah. Biru muda tergelar di mana-mana. Hitam putih tuts piano itu bahkan turut berubah warna menjadi biru dan putih. Sungguh damadianya hati ini. Aku sebenarnya tak ingin menang dari Hide, aku hanya ingin membuatnya merasa bersalah, menangis, meminta maaf dan mengakui kemampuanku di depan penggemar musik klasik lain. Aku tahu dia... sebenarnya baik. 

Benar. Dia baik. Namun, kenapa dia tak segera menemuiku sejak kejaddian itu? Kenapa dia tidak menolongku saat aku terjatuh dan kedua tanganku terlindas mobil ayahnya? Dia... apakah selama ini kita tidak pernah benar-benar berteman, melainkan selalu bersaing? Tuan Muda Hide, Beethoven Jepang? Kalau dia Beethoven maku aku Chopin! Bagaimana mungkin si pemain piano ceroboh yang tidak peka saat dipanggil seperti dia bisa dijuluki Beethoven? Kasihan Kakek Beethoven.

Benar juga! Dia... susah menengok karena sombong? Atau memang karena permainan piano dan scence of music-nya yang baik sehingga sangat susah untuk berpaling dari piano. Ya, ampun, Dira! Kau harus fokus pada permainanmu nanti. Sekarang saatnya senam jari! Pemanasan.

Backstage sudah sangat ramai oleh peserta. Aku kembali hidup! Namun...

Tunggu! Kenapa mereka di sini? Mereka... Gadis ini, hanya memiliki empat jari. Kakak laki-laki itu, dia tak..tak punya kaki? Tempat apa ini? Ibu? Ibu... Dia tega membuangku ke kontes murahan seperti ini? Aku... 

"Ibu, maksud Ibu apa membawaku ke tempat seperti ini? Aku tidak sebodoh mereka ibu. Aku jenius musik. Aku tidak cacat! Aku hanya tak punya jari gara-gara Hide! Ibu! Aku... kece..."

"Hai, Nadiira. Ohisashibure desu ne? Ogenki desuka?" suara ini tak asing dan arahnya dari belakangku. Saat aku menengok ke belakang, kulihat seorang laki-laki berkacamata hitam? HIDE? Cih! Gaya sekali dia sekarang? Kacamata hitam? Digandeng gadis cantik dan sangat muda? Tak kusangka dia berubah sedrastis itu hanya dalam waktu setahun. Dia bahkan tak berhenti tersenyum, seperti ibu. Ah! Kalian sama-sama sangat memuakkan saat ini.

"Baik atau buruk kabarku, bukan urusanmu! Kau yang menyuruh ibuku membujukku untuk mengikuti kontes memalukan ini? Cih! Tak cukup kau menghancurkan mimpiku?" Napasku tersengal. Aku tak mampu menatap wajah ibuku. Entahlah apa yang kulakukan, aku tak tahu apakah aku sedag menuduh, memfitnah atau memotong hati orang. Namun, aku benci dibohongi olehnya

Sial! Kenapa orang ini tidak meresponku? Baiklah... setidak pentingnya kah pertanyaanku? Tak punya hatikah dia hingga tak ingin meminta maaf padaku? Oke, kalau ini maumu: melihatku disaksikan orang-orang dalam kontes piano untuk penyandang cacat. Oke! Hatimu memang cacat Hide, maka kenapa kau tak juga mengikuti kontes ini? Huh?

"Kontestan selanjutnya, Hide Ninomiya!"

"Kakak, sekarang giliranmu tampil," kata gadis cantik yang menggandeng Hide. Dia pun mengantarkan Hide hingga ke atas panggung. Mereka berdua tampak sangat serasi. Apakah mereka akan berduet? Pamer sekali. Namun, gadis itu memanggil Kakak? Jadi? Dia ini adik perempuan Hide yang selama ini dia ceritakan? Cantik sekali.

Nadira! Fokus! Musuh besarmu sedang menebar pesona di panggung sana sebagai kon... kontestan? Dia kontestan juga? Sandiwara macam apa ini? Sungguh aku tak mengerti lagi kenapa Hide semakin pandai berakting. Dia bukan lagi Hide si kacamata kuda, tapi Hide si tidak tahu malu!

Gadis itu belum juga melepaskan gandengan tangannya dari tubuh Hide. Mereka membungkuk bersama ke  penonton dan hanya Hide yang duduk? Adiknya tidak... Mereka tidak berduet? 

Hide mulai bermain. A? A... Apa ini? Aaa... Amaryllis? Dia... Hide... memainkannya??? Kenapa? Kenapa dia tidak lagi membenci lagu yang kusukai? Kenapa dia tidak lagi membenci lagu yang terakhir kali ibunya mainkan sebagai pengantar tidur sebelum mencampakan dia dan adiknya di pagi harinya? 

"Kau... Kak Nadira? Teman kakakku, kan?" si gadis cilik cantik menyapaku. Amaryllis tengah mengalun pasti. Temponya dimainkan dengan sempurna. Setiap nada seolah diisi oleh napas pemainnya. Hide... memainkan perasaannya. Tak ada sepersepuluh detik pun kekosongan meski dia mengaransemen sedikit intronya. Aku...

"Iya. Aku Nadira. Kau adiknya?" Aku berbalik bertanya kepadanya.

"Iya, perkenalkan namaku Nagisa. Yoroshiku onegaishimasu," jawabnya diakhiri dengan ojigi. Amaryllis masih merintih. Nada-nadanya seolah berkilau dan menari di batang-batang hitam putih yang tampak ikut meleleh. Hide...

"Nadira-san... Setahun lalu..." dan dalam seketika pandanganku memburam.

Backstage tiba-tiba menggelap dan kenangan masa lalu terputar kembali. Aku dan Hide baru saja pulang dari sekolah musik. Kami berdua sama-sama dari kelas piano. Sore itu, kami akan menonton konser Honda Yamato. Kami hampir terlambat dan aku tidak mau melewatkan satu nada pun dari permainan sang maestro idolaku itu. Aku berlari di sepanjang jalan menuju tempat konser. Di belakangku, Hide mengejarku dengan kewalahan.

Aku sudah mencapai tepi jalan raya dan mengantri bersama pejalan kaki yang akan menyeberang lainnya. Hide masih sempoyongan berlari. Tiba-tiba, dia berhenti, lima meter sebelum tempat penyeberangan. Dia melepas kacamatanya, meniupnya lalu mengelapnya perlahan.

Aku sangat marah saat itu dan bersiap untuk menarik kerahnya supaya segera bergegas. Namun, tiba-tiba lampu lalu lintas menyala merah. Orang-orang pun berbondong-bondong menyeberang. Aku tidak siap dan tiba-tiba seorang bapak berbadan besar yang menabrakku hingga aku jatuh tertelungkup ke arah jalan. Hide masih sibuk mengelap kacamatanya tanpa sadar bahwa aku terjatuh.

Saat aku akan bangkit, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet dan sekali lagi membuatku terjatuh. Naasnya, saat itu ada sebuah mobil yang mulai melaju kembali karena lampu sudah menyala hijau lagi. Aku tak mampu menghindar. Mobil itu menggilas pergelangan tangan kananku dan lengan bawah tangan kiriku. Ban depan dan belakang tanpa kecuali. Lalu semuanya gelap dan aku tidak pernah melihat Hide lagi sejak saat itu.

Ibu berkata bahwa pengemudi mobil itu adalah ayah Hide. Beliau merasa sangat bersalah dan rajin menjengukku, meski aku tidak pernah bersedia menemuainya. Namun, tidak dengan Hide. Dia menghilang. Aku sedih kehilangannya hingga lama-lama aku membencinya.

"Nadira-san. Kamu tidak apa-apa?" suara Nagisa menyadarkanku.

"Iya. Tak apa," jawabku singkat.

"Kakakku... Dia menyusulmu ke rumah sakit, setahun lalu. Dia sangat merasa bersalah dan menyesal. Dia sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai sahabat, Nadira-san," napasku tecekat seketika Nagisa mengakhiri ucapannya.

"Tuhan berkehendak lain. Sepertinya Dia sedang menguji kekuatan kakak. Motor yang kakak naiki bertabrakan dengan motor lain di tikungan menuju rumah sakit tempatmu dirawat. Dia terseret bersama motornya. Kakak tak menggunakan helm saat itu dan kacamata kakak pecah. Mata kakak... matanya..." Nagisa diam sejenak membuatku penasaran sekaligus panik. Untuk pertama kalinya, sejak kejadian itu, aku merasa menyesal dan bersalah… terhadap Hide.

"Mata kanannya tidak terselamatkan sedangkan mata kirinya... ada serpihan kaca spion berukuran sangat kecil yang masuk ke lensa mata kirinya. Akibatnya, dia tidak dapat melihat dengan baik dan dia selalu melihat 7 bayangan benda setiap melihat dengan mata kirinya. Kata dokter, itu adalah refleksi bayangan yang diakibatkan oleh kaca itu. Kakak tak berani menemuimu. Akhirnya, kakak menyuruh sopir kami untuk berpura-pura menjadi ayah kami dan menjengukmu setiap hari. Sopir itu berpura-pura menjadi orang yang menabrakmu. Dia memberitahukan kabarmu setiap hari ke kakak. Kakak sangat sedih karena Nadira-san... seperti ini. Pendengarannya pun semakin terganggu dan bertambah parah dibandingkan dulu saat sebelum kec..." aku tak bisa membendung air mataku. Ini seperti adegan film. Aku tak bisa lagi diam mendengarkannya.

"Na... Nagisa-chan? Sekarang pendengarannya buruk dan juga sangat menderita ketika melihat? Selama ini, dia mendapatkan julukan Beethoven Jepang, gara-gara pendengarannya yang kurang itu?" Nagisa mengangguk. Aku pun melemas dan terjatuh. Ibu memelukku. Dia menangis, tapi ekspresinya melukiskan bahwa ia telah tahu semuanya. Tuhan, aku begitu... berhati jahat. Tuhan, bahagiakan Hide, aku mohon.

"Hnn... Nagisa-chan, tolong bantu aku!" panggil suara baritone dari arah panggung. Ternyata Amaryllis telah selesai dimainkan. Hide pun sudah membungkuk ke arah penonton yang dibalas dengan tepukan tangan dan teriakan "Bravo" dari sebagian dari mereka.

Aku tak tahan lagi, kutarik diriku dari kejatuhan. Aku berlari menghambur ke arah Hide dan meraih tangannya. Menuntunnya, juga jemarinya, ke arah tuts piano. Kunaikkan kakiku dan bersiap memijat tuts-tuts piano. Kumainkan tiga bar awal Amaryllis. Kuajak dia berduet bersama. Dia menyentuh jemari kakiku dan sudah tentu dia mampu menebak nada-nada yang tengah kumainkan.

"Amaryllis... Nadira, kaukah itu? Kau suka dengan permainanku tadi? Amaryllis untukmu, Nadira. Kau Amaryllisku, Dira. Kau menggantikan Amaryllisku yang hilang, ibuku. Maukah kau memafkanku dan tak menghilang lagi?"

Aku mengangguk. Kami tersenyum bersama diiringi riuh rendah penonton yang turut berkaca-kaca dalam suka. Ini bagaikan mimpi atau adegan dalam film lebih tepatnya... dapat berduet lagi dengannya, kawan terbaikkku. Aku tak akan lagi menghilangkan diriku darimu, Hide. Tak akan pernah, selamanya. Aku berjanji, Hide, asalkan kau tak menghilang juga. Maafkan aku membuatmu seperti ini.


Depok, 13 Juli 2012

Related Post

0 Comments for "Amaryllis"